Pages

Friday, December 23, 2022

Supervisi Akademik berbasis Coaching

 A. Pemikiran reflektif terkait pengalaman belajar

Dalam modul 2.3 ini saya belajar tentang Coaching untuk Supervisi Akademik. Supervisi akademik dilakukan untuk memastikan  pembelajaran yang berpihak pada murid dan untuk mengembangkan kompetensi diri dalam setiap pendidik di sekolah. Pemimpin sekolah yang dapat mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi diri dan orang lain dengan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang diawali dengan paradigma berpikir yang memberdayakan, hal ini mutlak diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching. 
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation  (ICF) mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Elemen-elemen penting dari coaching yang dapat diambil dari beberapa definisi coaching yang telah disajikan adalah:
a.    Coaching sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya, Coaching merupakan proses membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sebagai bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.
b.    coach: orang yang menghantarkan, memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee 
c.    Coachee: penerima manfaat, kegiatan dalam proses coaching
d.    community of practice: sebuah kelompok yang terbentuk dengan tujuan berlatih dan mempraktikan materi pelatihan untuk pengembangan bersama
 
Sebagai guru, saya pernah menerapkan prinsip-prinsip coaching tersebut di sekolah saya baik kepada murid ataupun rekan sejawat saya. Salah satu contoh: ketika menghantarkan murid dalam panitia pemilihan ketua dan wakil ketua OSIS Sedangkan kepada rekan sejawat ketika penyusunan modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) hingga refleksi pelaksanaan, menyusun rencana tindak lanjut untuk kegiatan selanjutnya.

B. Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP
Setelah mempelajari modul 2.3 ini Saya berharap dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hadir dalam benak Saya yaitu:
1. Bagaimana coaching dapat berhasil dengan baik?
2. Kompetensi apa yang perlu dimiliki coach saat proses coaching?
3. Ketrampilan apa yang perlu dimiliki Coach dalam proses Coaching agar lebih maksimal?
Refleksi Diri saat latihan Praktik Coaching
Yang sudah berjalan baik selama percakapan adalah Coach sudah menunjukkan presence (kehadiran penuh), pendengar aktif dan mengajukan pertanyaan berbobot untuk menggali permasalahan, dan informasi tentang penyelesaian yang memungkinkan untuk dapat dilakukan oleh coachee. Yang masih perlu diperbaiki/ditingkatkan adalah belajar lagi tentang bagaimana mengajukan pertanyaan berbobot yang dapat menggali potensi coachee dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Untuk tetap kondisi presence (kehadiran penuh) sebelum dan saat melakukan coaching Saya menanamkan pada diri tentang kesempatan kita dapat membantu coachee untuk menemukan solusi dari permasalahan yang mereka hadapi, menuliskan hal-hal penting yang menjadi penekanan masalah, perasaan, ataupun solusi yang disampaikan coachee,  membangun kemitraan coach dan coachee sehingga terbangun chemistri untuk dapat meringankan dan membantu coachee menyelesaikan masalah ataupun bahan untuk coaching. Yang Saya lakukan untuk memperbaiki/meningkatkannya adalah terus belajar meningkatkan kemampuan Coach terutama menahan diri untuk banyak bicara, mengesampingkan agenda pribadi, bahkan penilaian kita tehadap coachee.
Berikut umpan balik dari coachee Saya: Kehadiran Penuh/Presence sudah sangat baik,mendngar aktif juga sudah ber RASA (Receive, Apreciate, Summarize, dan Ask). Perlu ditingkatkan lagi pertanyaan yang berbobot.
Selanjutnya Pertanyaan untuk coachee yang Saya Buat diantaranya adalah:
·         Apa yang Bapak/Ibu rasakan saat coaching?
·         Apa Tujuan yang Bapak/Ibu ingingkan dalam coaching ini?
·         Permasalahan/hal apa yang ingin disampaikan dalam coaching ini?
·         Bagaimana Kriteria keberhasilan yang diinginkan Bapak/Ibu?
·         Jika Bapak/Ibu menilai standar kerja yang sudah terlaksana pada skala 1-10, berada di levlberapakahposisiBapak/Ibu sekarang?
·         Dan ingin meingkat samapai level berapa?
·         Memastikan hal-hal yang menjadi fokus dalam proses coaching
·         Bagaimana Rencana Aksi yang dapat dan akan dilakukan Bapak/Ibu agar bisa meningkatkan level keberhasilan kerja?
·         Kapan Bapak/Ibu akan  melaksanakan rencana aksi yang sudah disusun?
Alahadulillah, setelah praktik coaching pada ruang kolaborasi menunjukkan kemajuan kompetensi coach, hal ini terbukti saat Saya dalam kelompok melakukan proses Coaching pada Demonstrasi Kontekstual.
 
C. Membuat keterhubungan
Refleksi Saya dalam memunculkan koneksi dari pembelajarannya dengan poin-poin berikut:
1. Pengalaman masa lalu.
     Sebelum belajar tentang Coaching, ketika melakukan supervisi akademik supervisor bisa memiliki banyak peran sebagai mentor, fasilitator, trainer, dan konselor. Sehingga potensi coachee untuk menggali potensi diri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi belum tampak.
2. Penerapan di masa mendatang.
     Selanjutnya Saya akan banyak berperan sebagai coach agar lebih tergali potensi coachee dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
3. Konsep atau praktik baik yang dilakukan dari modul lain yang telah dipelajari adalah pembelajaran berdiferensiasi dan ketrampilan sosial emosional sangat berkaitan dengan proses coaching dalam supervisi akademik
4. Informasi yang didapat dari orang atau sumber lain di luar bahan ajar PGP adalah dari Media online, praktik baik instruktur, fasilitator, Pengajar Praktik, serta praktik baik rekan guru sekantor ataupun dalam komunitas praktisi yaitu TRIGGER (SMANTIARA Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan).

Membudayakan Budaya Positif di Sekolah

 Peran kita sebagai guru dalam menciptakan budaya positif diawali dari bagaimana kita bisa mengontrol diri kita sendiri dalam bersikap dan bertindak yang sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal. Setiap perilaku murid atau guru dilakukan berdasarkan tujuan yang ingin dipenuhinya. Maka disinilah kita  sebagai pendidik harus mampu memahami kebutuhan setiap murid kita. Membangun budaya positif harus diwujudkan di kelas atau sekolah dalam bentuk menanamkan disiplin positif pada setiap murid. Disiplin positif yang dimaksud adalah disiplin murid yang didorong oleh motivasi internalnya dalam membangun kesadaran akan keyakinan kelas yang sudah menjadi kesepakatan nilai kebajikan universal tanpa latar belakang apapun. Motivasi perilaku murid atau guru di sekolah dalam melaksanakan disiplin positif terkadang didorong oleh motivasi karena takut dengan sanksi/hukuman atau konsekuensi dari peraturan yang ada, atau mungkin juga murid dan guru berperilaku karena ingin dapat penghargaan. Dari kedua motivasi tersebut maka murid atau guru berperilaku disiplin positif karena motivasi eksternal, sehingga disiplin positif ini hanya berlaku dalam jangka pendek, maka dalam jangka panjang hal ini kurang efektif dalam membangun budaya positif. Murid dan guru dalam menerapkan disiplin positif harus tumbuh karena motivasi internal. Motivasi internal berlandaskan kepada terpenuhinya satu atau beberapa kebutuhan dasar dari murid atau guru. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Harus kita sadari bahwa kelima kebutuhan dasar manusia itu menjadi latar belakang manusia atau murid-murid kita bersikap dan bertindak di lingkungan kelas atau sekolah. Pada saat murid melakukan pelanggaran karena didorong oleh kebutuhan dasar, maka disinilah peran kontrol guru berfungsi dan digunakan dalam menyelesaikan masalah murid. Peran kontrol guru Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer. Dari kelima posisi kontrol tersebut sebaiknya guru berada dalam posisi ideal dalam posisi manajer, atau minimal posisi teman atau pemantau. Guru harus mulai meninggalkan posisi penghukum dan pembuat merasa bersalah karena berdampak terhadap psikologi murid secara mendalam dan tidak membuat rasa nyaman. Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka mungkin gagal dalam pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan untuk keselamatan dan kebahagiaan murid yang sesuai dengan kodratnya.

Merumuskan nilai-nilai keyakinan yang bersifat nilai kebajikan universal dalam dapat dilakukan secara kolaboratif yang melibatkan semua warga kelas/sekolah dalam memilih dan menentukan nilai keyakinan  yang akan dijadikan landasan dalam membuat kesepakatan kelas/sekolah sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak di lingkungan kelas/sekolah bagi murid. Pada saat membangun keyakinan kelas dapat dilakukan melalui kegiatan curah pendapat secara berkelompok dan masing-masing kelompok diberikan tugas menentukan keyakinan yang disepakati, kemudian secara klasikal dengan difasilitasi oleh guru menetapkan dan menyepakati keyakinan bersama menjadi sebuah kesepakatan kelas dan nilai keyakinan dan kesepakatan kelas ini selanjutnya dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempel di dinding kelas. Keyakinan kelas yang sudah dibuat ini menjadi landasan bagi murid dalam membuat suatu keyakinan sekolah atau menentukan visi dan misi atau tujuan dari sekolah.

Keyakinan kelas yang telah menjadi kesepakatan kelas ini menjadi pedoman bagi murid dalam bersikap dan bertindak untuk menumbuhkan disiplin positif masing-masing murid di kelas maupun di lingkungan sekolah, sehingga berdampak pada terbangunnya budaya positif di sekolah. Dalam keseharian jika ada murid yang melanggar atau berbuat kesalahan, dimungkinkan keyakinan bisa berubah kembali dengan adanya kasus/masalah baru yang dilakukan murid. maka guru dalam menyelesaikan masalah murid, dapat menggunakan keyakinan kelas ini sebagai dasar melakukan restitusi penyelesaian masalah, dengan pendekatan segitiga restitusi, yaitu menstabilkan identitas, memvalidasi kesalahan dan membuat keyakinan. Dengan melakukan langkah segitiga restitusi murid tidak diposisikan sebagai murid “gagal”, tetapi murid dibangun kepercayaan dirinya, tanggung jawab dan kemandirian dalam menyelesaikan masalah sehingga menjadi pembelajaran bagi dirinya untuk lebih baik kedepannya dengan memiliki keyakinan kelas yang disadarinya untuk dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab. 

Ada hal yang menarik dan mencerahkan setelah saya menjelajahi dan mengeksplorasi materi tentang konsep-konsep disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas dan segitiga restitusi. Disini kita mendapatkan gambaran dan pencerahan bahwa untuk membangun atau mengembangkan disiplin positif yang berdasarkan keyakinan pada nilai kebajikan universal, kita sebagai guru harus memahami bahwa setiap murid dalam bersikap dan bertindak mendasarkan kepada kebutuhan dasar murid yang belum terpenuhi, sehingga guru harus menempatkan diri dalam posisi kontrol sebagai teman dan pemantau dan mengarah ke posisi ideal sebagai manajer. 

Saat ini kita sebagai guru lebih banyak berperan sebagai posisi penghukum atau pembuat konsekuensi yang kita sadari bahwa murid sebenarnya dalam sikap dan perilaku keseharian dalam melaksanakan disiplin positif hanya didorong karena rasa takut atau menghindari sanksi atau hukuman. Hal lain yang saya lakukan adalah masih memberikan penghargaan kepada murid yang memiliki kelebihan dari yang lain baik dalam prestasi atau pun dalam bersikap yang ternyata ini pun tidak baik dalam menumbuhkan budaya positif karena tidak berdampak baik untuk jangka panjang pada diri murid. Motivasi dari sikap dan perilaku berdasarkan hukuman, konsekuensi dan penghargaan ini adalah motivasi eksternal yang berdampak jangka pendek dalam menumbuhkan budaya positif di sekolah. Maka kita sebagai guru sebaiknya segera meninggalkan pola pikir atau paradigma lama dalam membangun budaya disiplin positif dan segera beralih pada bagaimana guru dapat menumbuhkan keyakinan kelas sebagai dasar dalam menumbuhkan disiplin positif murid yang berdampak pada budaya positif sekolah. Segitiga restitusi menjadi sesuatu yang baru yang perlu kita terapkan dalam paradigma baru yang dapat kita gunakan dalam menyelesaikan masalah pada disiplin positif murid. Pendekatan penyelesaian masalah dengan segitiga restitusi efektif dalam menyelesaikan masalah dengan jalan win win solution (menang-menang) bukan menang-kalah yang menempatkan murid tidak dalam posisi gagal, melainkan mereka akan tumbuh kesadaran diri dalam penanaman keyakinan kelas yang kelak mereka percaya diri, penuh tanggung jawab dan mandiri dalam mengambil sikap dan tindakan sesuai dengan nilai kebajikan universal yang memungkinkan mereka tumbuh sesuai kodratnya sebagai manusia merdeka.

Penerapan praktik segitiga restitusi pernah dilakukan dalam penyelesaian masalah sebelum mengenal konsep teori ini, walaupun pada saat itu tidak memahami teori segitiga restitusi, misalkan pada saat murid kita melanggar suatu aturan yang sudah ditetapkan kelas atau sekolah, maka pada saat itu saya mencoba mendekati murid yang sedang bermasalah dengan memberikan rasa tenang terlebih dahulu, kemudian kita menggali akar masalah yang telah dilakukan dalam pelanggaran, tetapi pada saat itu kita terkadang mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, disinilah saya sadari ternyata itu salah dan keliru, karena hal tersebut secara psikologi murid menjadi merasa orang bersalah dan tidak berdampak pada bagaimana murid tersebut dapat bersikap dan bertindak lebih baik lagi dikemudian hari. 

Setelah memahami konsep segitiga restitusi, maka saya menjadi sadar dan harus segera mengubah pola pikir dalam menyelesaikan kasus atau masalah yang terjadi pada diri murid, ketika murid melanggar atau bersikap dan bertindak yang tidak sesuai dengan keyakinan kelas atau kesepakatan kelas yang telah dibuat sebelumnya. maka pendekatan segitiga restitusi bisa kita gunakan. Praktik penyelesaian masalah dengan menggunakan segitiga restitusi terdiri dari tiga tahap penyelesaian, antara lain adalah Tahap menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan. Praktik segitiga restitusi pernah saya praktikan dengan simulasi dua kasus dengan melibatkan seorang murid. Ada pengalaman baru yang saya peroleh, dimana pada saat mempraktikkan penyelesaian masalah terlihat murid berada dalam suasana kenyamanan dan tidak merasa bersalah, dan dalam proses segitiga restitusi itu terutama di tahap menanyakan keyakinan, murid menjadi percaya diri untuk bertanggung jawab dan secara mandiri murid mau menyelesaikan sendiri masalah dengan komitmen akan menerapkan sebuah keyakinan baru yang akan menjadi pedoman dalam bersikap dan bertindak di kemudian hari. Segitiga restitusi ini sejalan dengan tujuan pembelajaran yang berpihak pada murid.

Maka sebagai guru, kita semakin berdaya dalam prakarsa perubahan di kelas atau sekolah dalam usaha secara kolaboratif menggerakan murid dan komunitas guru dan warga sekolah untuk bersama-sama membangun budaya positif di sekolah dengan menyamakan visi bersama demi terwujudnya nilai-nilai keyakinan positif yang bersifat nilai kebajikan universal tanpa membedakan ras, golongan dan agama. Budaya positif di lingkungan kelas atau sekolah merupakan sebuah upaya dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman, juga bagian dari pemenuhan kebutuhan anak yang beragam kodratnya.


Berita Olahraga Terkini

Informasi Beasiswa Indonesia