Pages

Friday, December 23, 2022

Membudayakan Budaya Positif di Sekolah

 Peran kita sebagai guru dalam menciptakan budaya positif diawali dari bagaimana kita bisa mengontrol diri kita sendiri dalam bersikap dan bertindak yang sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal. Setiap perilaku murid atau guru dilakukan berdasarkan tujuan yang ingin dipenuhinya. Maka disinilah kita  sebagai pendidik harus mampu memahami kebutuhan setiap murid kita. Membangun budaya positif harus diwujudkan di kelas atau sekolah dalam bentuk menanamkan disiplin positif pada setiap murid. Disiplin positif yang dimaksud adalah disiplin murid yang didorong oleh motivasi internalnya dalam membangun kesadaran akan keyakinan kelas yang sudah menjadi kesepakatan nilai kebajikan universal tanpa latar belakang apapun. Motivasi perilaku murid atau guru di sekolah dalam melaksanakan disiplin positif terkadang didorong oleh motivasi karena takut dengan sanksi/hukuman atau konsekuensi dari peraturan yang ada, atau mungkin juga murid dan guru berperilaku karena ingin dapat penghargaan. Dari kedua motivasi tersebut maka murid atau guru berperilaku disiplin positif karena motivasi eksternal, sehingga disiplin positif ini hanya berlaku dalam jangka pendek, maka dalam jangka panjang hal ini kurang efektif dalam membangun budaya positif. Murid dan guru dalam menerapkan disiplin positif harus tumbuh karena motivasi internal. Motivasi internal berlandaskan kepada terpenuhinya satu atau beberapa kebutuhan dasar dari murid atau guru. Semua yang kita lakukan adalah usaha terbaik kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, sebetulnya saat itu kita sedang memenuhi satu atau lebih dari satu kebutuhan dasar kita, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). Harus kita sadari bahwa kelima kebutuhan dasar manusia itu menjadi latar belakang manusia atau murid-murid kita bersikap dan bertindak di lingkungan kelas atau sekolah. Pada saat murid melakukan pelanggaran karena didorong oleh kebutuhan dasar, maka disinilah peran kontrol guru berfungsi dan digunakan dalam menyelesaikan masalah murid. Peran kontrol guru Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer. Dari kelima posisi kontrol tersebut sebaiknya guru berada dalam posisi ideal dalam posisi manajer, atau minimal posisi teman atau pemantau. Guru harus mulai meninggalkan posisi penghukum dan pembuat merasa bersalah karena berdampak terhadap psikologi murid secara mendalam dan tidak membuat rasa nyaman. Ketika seorang murid melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan, atau melanggar peraturan, hal itu sebenarnya dikarenakan mereka mungkin gagal dalam pemenuhan kebutuhan dasar mereka. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan untuk keselamatan dan kebahagiaan murid yang sesuai dengan kodratnya.

Merumuskan nilai-nilai keyakinan yang bersifat nilai kebajikan universal dalam dapat dilakukan secara kolaboratif yang melibatkan semua warga kelas/sekolah dalam memilih dan menentukan nilai keyakinan  yang akan dijadikan landasan dalam membuat kesepakatan kelas/sekolah sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak di lingkungan kelas/sekolah bagi murid. Pada saat membangun keyakinan kelas dapat dilakukan melalui kegiatan curah pendapat secara berkelompok dan masing-masing kelompok diberikan tugas menentukan keyakinan yang disepakati, kemudian secara klasikal dengan difasilitasi oleh guru menetapkan dan menyepakati keyakinan bersama menjadi sebuah kesepakatan kelas dan nilai keyakinan dan kesepakatan kelas ini selanjutnya dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempel di dinding kelas. Keyakinan kelas yang sudah dibuat ini menjadi landasan bagi murid dalam membuat suatu keyakinan sekolah atau menentukan visi dan misi atau tujuan dari sekolah.

Keyakinan kelas yang telah menjadi kesepakatan kelas ini menjadi pedoman bagi murid dalam bersikap dan bertindak untuk menumbuhkan disiplin positif masing-masing murid di kelas maupun di lingkungan sekolah, sehingga berdampak pada terbangunnya budaya positif di sekolah. Dalam keseharian jika ada murid yang melanggar atau berbuat kesalahan, dimungkinkan keyakinan bisa berubah kembali dengan adanya kasus/masalah baru yang dilakukan murid. maka guru dalam menyelesaikan masalah murid, dapat menggunakan keyakinan kelas ini sebagai dasar melakukan restitusi penyelesaian masalah, dengan pendekatan segitiga restitusi, yaitu menstabilkan identitas, memvalidasi kesalahan dan membuat keyakinan. Dengan melakukan langkah segitiga restitusi murid tidak diposisikan sebagai murid “gagal”, tetapi murid dibangun kepercayaan dirinya, tanggung jawab dan kemandirian dalam menyelesaikan masalah sehingga menjadi pembelajaran bagi dirinya untuk lebih baik kedepannya dengan memiliki keyakinan kelas yang disadarinya untuk dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab. 

Ada hal yang menarik dan mencerahkan setelah saya menjelajahi dan mengeksplorasi materi tentang konsep-konsep disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas dan segitiga restitusi. Disini kita mendapatkan gambaran dan pencerahan bahwa untuk membangun atau mengembangkan disiplin positif yang berdasarkan keyakinan pada nilai kebajikan universal, kita sebagai guru harus memahami bahwa setiap murid dalam bersikap dan bertindak mendasarkan kepada kebutuhan dasar murid yang belum terpenuhi, sehingga guru harus menempatkan diri dalam posisi kontrol sebagai teman dan pemantau dan mengarah ke posisi ideal sebagai manajer. 

Saat ini kita sebagai guru lebih banyak berperan sebagai posisi penghukum atau pembuat konsekuensi yang kita sadari bahwa murid sebenarnya dalam sikap dan perilaku keseharian dalam melaksanakan disiplin positif hanya didorong karena rasa takut atau menghindari sanksi atau hukuman. Hal lain yang saya lakukan adalah masih memberikan penghargaan kepada murid yang memiliki kelebihan dari yang lain baik dalam prestasi atau pun dalam bersikap yang ternyata ini pun tidak baik dalam menumbuhkan budaya positif karena tidak berdampak baik untuk jangka panjang pada diri murid. Motivasi dari sikap dan perilaku berdasarkan hukuman, konsekuensi dan penghargaan ini adalah motivasi eksternal yang berdampak jangka pendek dalam menumbuhkan budaya positif di sekolah. Maka kita sebagai guru sebaiknya segera meninggalkan pola pikir atau paradigma lama dalam membangun budaya disiplin positif dan segera beralih pada bagaimana guru dapat menumbuhkan keyakinan kelas sebagai dasar dalam menumbuhkan disiplin positif murid yang berdampak pada budaya positif sekolah. Segitiga restitusi menjadi sesuatu yang baru yang perlu kita terapkan dalam paradigma baru yang dapat kita gunakan dalam menyelesaikan masalah pada disiplin positif murid. Pendekatan penyelesaian masalah dengan segitiga restitusi efektif dalam menyelesaikan masalah dengan jalan win win solution (menang-menang) bukan menang-kalah yang menempatkan murid tidak dalam posisi gagal, melainkan mereka akan tumbuh kesadaran diri dalam penanaman keyakinan kelas yang kelak mereka percaya diri, penuh tanggung jawab dan mandiri dalam mengambil sikap dan tindakan sesuai dengan nilai kebajikan universal yang memungkinkan mereka tumbuh sesuai kodratnya sebagai manusia merdeka.

Penerapan praktik segitiga restitusi pernah dilakukan dalam penyelesaian masalah sebelum mengenal konsep teori ini, walaupun pada saat itu tidak memahami teori segitiga restitusi, misalkan pada saat murid kita melanggar suatu aturan yang sudah ditetapkan kelas atau sekolah, maka pada saat itu saya mencoba mendekati murid yang sedang bermasalah dengan memberikan rasa tenang terlebih dahulu, kemudian kita menggali akar masalah yang telah dilakukan dalam pelanggaran, tetapi pada saat itu kita terkadang mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, disinilah saya sadari ternyata itu salah dan keliru, karena hal tersebut secara psikologi murid menjadi merasa orang bersalah dan tidak berdampak pada bagaimana murid tersebut dapat bersikap dan bertindak lebih baik lagi dikemudian hari. 

Setelah memahami konsep segitiga restitusi, maka saya menjadi sadar dan harus segera mengubah pola pikir dalam menyelesaikan kasus atau masalah yang terjadi pada diri murid, ketika murid melanggar atau bersikap dan bertindak yang tidak sesuai dengan keyakinan kelas atau kesepakatan kelas yang telah dibuat sebelumnya. maka pendekatan segitiga restitusi bisa kita gunakan. Praktik penyelesaian masalah dengan menggunakan segitiga restitusi terdiri dari tiga tahap penyelesaian, antara lain adalah Tahap menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan. Praktik segitiga restitusi pernah saya praktikan dengan simulasi dua kasus dengan melibatkan seorang murid. Ada pengalaman baru yang saya peroleh, dimana pada saat mempraktikkan penyelesaian masalah terlihat murid berada dalam suasana kenyamanan dan tidak merasa bersalah, dan dalam proses segitiga restitusi itu terutama di tahap menanyakan keyakinan, murid menjadi percaya diri untuk bertanggung jawab dan secara mandiri murid mau menyelesaikan sendiri masalah dengan komitmen akan menerapkan sebuah keyakinan baru yang akan menjadi pedoman dalam bersikap dan bertindak di kemudian hari. Segitiga restitusi ini sejalan dengan tujuan pembelajaran yang berpihak pada murid.

Maka sebagai guru, kita semakin berdaya dalam prakarsa perubahan di kelas atau sekolah dalam usaha secara kolaboratif menggerakan murid dan komunitas guru dan warga sekolah untuk bersama-sama membangun budaya positif di sekolah dengan menyamakan visi bersama demi terwujudnya nilai-nilai keyakinan positif yang bersifat nilai kebajikan universal tanpa membedakan ras, golongan dan agama. Budaya positif di lingkungan kelas atau sekolah merupakan sebuah upaya dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman, juga bagian dari pemenuhan kebutuhan anak yang beragam kodratnya.


No comments:

Berita Olahraga Terkini

Informasi Beasiswa Indonesia